Monday, July 17, 2017

Sebuah kisah tentang upaya bunuh diri profesi secara massal

Salam,
Sebenarnya agak ragu-ragu juga untuk menceritakan kisah menyesakkan dada ini. Tapi karena blog ini dimaksudkan untuk mencatat segala hal seputar Tailoring dari sudut pandang pembelajar tailor,  maka kami putuskan untuk menulisnya. Dengan harapan agar sisi hitam ini bisa diminimalisir atau dihilangkan. Kami percaya bila kisah ini dilanjutkan, akan mengarah pada upaya bunuh diri profesi secara massal. 

Kisah ini sudah masyhur di kalangan tailor walaupun kami pribadi tidak mengalami sendiri. Kisah yang kami maksud adalah tentang praktek strategi marketing sebagian tailor kita.

Kisah ini dimulai ketika mall-mall /pasar besar mulai bermunculan di kota-kota besar. Sebagian toko-toko kain pun pindah kesana. Ada juga yang mulai membuka toko disana. Diikuti kemudian oleh para tailor-tailor besar dan kecil. Sampai disini tidak ada masalah. Malah dari sudut pandang konsumen, ini merupakan sebuah konsep one-stop shopping yang ideal. Seorang pelanggan bisa memilih kain di toko-toko yang bertebaran di sana dan memilih menjahit-kan langsung pada satu diantara tailor shop yang lainnya.

Ketika jumlah tailor yang tumbuh di mall/pasar besar itu semakin banyak, otomatis persaingan mulai terjadi. Awalnya kompetisi ini berlangsung secara sehat dan wajar. Mereka bersaing pada segi pelayanan dan kualitas jahitan. Tetapi dengan semakin meningkatnya persaingan, beberapa "oknum" tailor mulai menggunakan strategi marketing yang tak sehat.

Oknum-oknum tailor ini mulai mendekati pemilik dan karyawan toko  kain agar membantu pemasaran jasa mereka, dengan imbalan komisi. Bila seorang pelanggan datang ke toko kain tersebut, karyawannya akan mengarahkan pelanggan tadi pada oknum tailor yang memberi mereka komisi.

Pada titik ini, objek persaingan berubah, dari yang awalnya adalah pada segi kualitas jahitan dan pelayanan berubah menjadi persaingan besaran komisi. Seiring berjalannya waktu, persaingan jumlah komisi pun semakin membesar. Komisi awal yang besarannya masih bisa diterima akal, semakin lama semakin tidak masuk akal.

Untuk menutupi anggaran besaran komisi ini, oknum-oknum tailor ini mulai mengorbankan besaran gaji/ongkos-tukang per-jahitan para penjahitnya. Atau menunda / mengurangi kenaikan gajinya, sampai pada tahap yang membuat kita menggelengkan kepala. Keadaan ini kemudian diperparah dengan oknum-oknum tailor ini seringkali tidak punya penjahit tetap. Mereka menyerahkan jahitan mereka pada pengepul-pengepul jahitan. Baru kemudian sampai pada penjahit aslinya.

Bayangkan, sekitar 7 tahun lalu, jumlah komisi yang diberikan pada karyawan toko kain adalah sama dengan gaji penjahit asli  pakaian itu tadi. Katakanlah gaji penjahit jas untuk satu jas adalah 100 ribu, maka komisi toko karyawan toko adalah 100 ribu. Seorang penjahit yang membutuhkan keterampilan (yang dipelajarinya dalam waktu yang tidak sebentar) diberi ongkos setara dengan orang yang hanya bermodal ucapan. Proses menjahit yang berlangsung satu hari-an dihargai sama dengan kalimat tawaran cas-cus yang membutuhkan waktu beberapa menit!?

Untungnya, tidak semua tailor di mall/pasar besar menerapkan strategi pemasaran seperti ini. Kami angkat 10 jempol untuk para tailor yang lebih mementingkan persaingan kualitas jahitan dan pelayanan dibanding persaingan dari segi komisi.

Menjadi wajar, bila saat ini usaha tailor kekurangan sumber daya penjahit handal. Tidak lain karena daya tarik kesejahteraan profesi ini menurun tajam semenjak tahun 80-an.

Kami tidak tahu apakah kisah seperti ini masih terus berlangsung atau tidak (mudah-mudah tidak). Tapi kami percaya bila praktek seperti ini diteruskan, maka yang paling dirugikan adalah para penjahitnya sendiri dan profesi tailor secara keseluruhan . Dan akhirnya menjadi sebuah upaya penghancuran diri sendiri.

Atau jangan-jangan, ini (self destruction) memang sudah jadi watak kita? Sekali lagi mudah-mudahan tidak.

Salam prihatin.


Komentari dengan g+ (dilarang spam)
EmoticonEmoticon